BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Friday, June 11, 2010

Carrots. Eggs, & Coffee

Carrots. Eggs, & Coffee


A carrot, an egg, and a cup of coffee...You will never look at a cup of coffee the same way again.

A young woman went to her mother and told her about her life and how things were so hard for her. She did not know how she was going to make it and wanted to give up, She was tired of fighting and struggling. It seemed as one problem was solved, a new one arose.

Her mother took her to the kitchen. She filled three pots with water and placed each on a high fire. Soon the pots came to boil. In the first she placed carrots, in the second she placed eggs, and in the last she placed ground coffee beans. She let them sit and boil; without saying a word.

In about twenty minutes she turned off the burners. She fished the carrots out and placed them in a bowl. She pulled the eggs out and placed them in a bowl. Then she ladled the coffee out and placed it in a bowl. Turning to her daughter, she asked, ' Tell me what you see.'

'Carrots, eggs, and coffee,' she replied.

Her mother brought her closer and asked her to feel the carrots. She did and noted that they were soft. The mother then asked the daughter to take an egg and break it. After pulling off the shell, she observed the hard boiled egg.

Finally, the mother asked the daughter to sip the coffee. The daughter smiled as she tasted its rich aroma. The daughter then asked,

'What does it mean, mother?'

Her mother explained that each of these objects had faced the same adversity: boiling water. Each reacted differently. The carrot went in strong, hard, and unrelenting. However, after being subjected to the boiling water, it softened and became weak. The egg had been fragile. Its thin outer shell had protected its liquid interior, but after sitting through the boiling water, its inside became hardened. The ground coffee beans were unique, however. After they were in the boiling water, they had changed the water.

'Which are you?' she asked her daughter. 'When adversity knocks on your door, how do you respond? Are you a carrot, an egg or a coffee bean?

Think of this: Which am I? Am I the carrot that seems strong, but with pain and adversity do I wilt and become soft and lose my strength?

Am I the egg that starts with a malleable heart, but changes with the heat? Did I have a fluid spirit, but after a death, a breakup, a financial hardship or some other trial, have I become hardened and stiff? Does my shell look the same, but on the inside am I bitter and tough with a stiff spirit and hardened heart?

Or am I like the coffee bean? The bean actually changes the hot water, the very circumstance that brings the pain. When the water gets hot, it releases the fragrance and flavour. If you are like the bean, when things are at their worst, you get better and change the situation around you. When the hour is the darkest and trials are their greatest do you elevate yourself to another level? How do you handle adversity? Are you a carrot, an egg or a coffee bean?

May you have enough happiness to make you sweet, enough trials to make you strong, enough sorrow to keep you human and enough hope to make you happy.

The happiest of people don't necessarily have the best of everything; they just make the most of everything that comes along their way. The brightest future will always be based on a forgotten past; you can't go forward in life until you let go of your past failures and heartaches.

When you were born, you were crying and everyone around you was smiling.

Live your life so at the end, you're the one who is smiling and everyone around you is crying.

You might want to send this message to those people who mean something to you

(I JUST DID);

to those who have touched your life in one way or another;

to those who make you smile when you really need it;

to those who make you see the brighter side of things when you are really down;

to those whose friendship you appreciate;

to those who are so meaningful in your life.

May we all be COFFEE!!

Friday, April 16, 2010

subhanallah

Allah's love letter for us =)

........boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Al-Baqarah(2:216)

Thursday, April 15, 2010

story for all...

This is a story forward by my best friend~Hopefully it will benefit all of us~insya Allah

Maaf ana sudah bertunang

Hari-hari berlalu yang dilewati seakan sudah bertahun lamanya, namun yang perlu diakui ialah ianya baru beberapa minggu lalu. Iya, hanya beberapa minggu lalu. Berita itu aku sambut dengan hati yang diusahakan untuk berlapang dada. Benar, aku berusaha berlapang dada. Terkadang, terasa nusrah Ilahi begitu hampir saat kita benar-benar berada di tepi tebing, tunggu saat untuk menjunam jatuh ke dalam gaung. Maha Suci Allah yang mengangkat aku, meletakkan aku kembali di jalan tarbiyyah dan terus memimpin untukku melangkah dengan tabah.

Aku hanya seorang Insyirah. Tiada kelebihan yang teristimewa, tidak juga punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku juga dua kaki, lihat ku juga menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini. Aku tidak buta, tidak juga tuli mahupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah juga aku bisa bercakap dengan lidahku yang lembut tidak bertulang. Sama seperti manusia lain.

Aku bukan seperti bondanya Syeikh Qadir al-Jailani, aku juga tidak sehebat srikandi Sayyidah Khadijah dalam berbakti, aku bukan sebaik Sayyidah Fatimah yang setia menjadi pengiring ayahanda dalam setiap langkah perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang Insyirah yang sedang mengembara di bumi Tuhan, jalanku kelak juga sama... Negeri Barzakh, insya Allah. Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam perkara ini.

Sejak dari hari istimewa tersebut, ramai sahabiah yang memuji wajahku berseri dan mereka yakin benar aku sudah dikhitbah apabila melihat kedua tangan ku memakai cincin di jari manis. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu soalan yang maha banyak, tetapi diam ku kerana aku belum mampu memperkenalkan insan itu. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian.

Ibu bertanyakan soalan yang sewajarnya aku jawab dengan penuh tatasusila.

"Hari menikah nanti nak pakai baju warna apa?"

Aku menjawab tenang.. "Warna putih, bersih..."

"Alhamdulillah, ibu akan usahakan dalam tempoh terdekat."

"Ibu, 4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah. Jangan berlebihan."

Ibu angguk perlahan.

Beberapa hari ini, aku menyelak satu per satu... helaian demi helaian naskhah yang begitu menyentuh nubari aku sebagai hamba Allah. Sukar sekali aku ungkapkan perasaan yang bersarang, mahu saja aku menangis semahunya tetapi sudah aku ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan tarikhnya kerana aku akan sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.

Sejak hari pertunangan itu, aku semakin banyak mengulang al-Quran. Aku mahu sebelum tibanya hari yang aku nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam tubuh. Mudah-mudahan aku tenang... As-Syifa' aku adalah al-Quran, yang setia menemani dalam resah aku menanti. Benar, aku sedang memujuk gelora hati. Mahu pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang yang mendahului.

"Kak Insyirah, siapa tunang akak? Mesti hebat orangnya. Kacak tak?"

Aku tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku masih mahu merahsiakan tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahawa aku sudah bertunang, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.

"Insya Allah, 'dia' tiada rupa tetapi sangat mendekatkan akak dengan Allah. Itu yang paling utama."

Berita itu juga buat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata mereka, aku senyapkan sesuatu yang perlu diraikan. Aku tersenyum lagi.

"Jangan lupa jemput ana di hari menikahnya, jangan lupa!"

Aku hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku zahirkan ialah senyuman dan terus tersenyum. Mereka mengandai aku sedang berbahagia apabila sudah dikhitbahkan dengan 'dia' yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabiah juga merasa kehilangan ku apabila setiap waktu terluang aku habiskan masa dengan as-Syifa' ku al-Quran, tidak lain kerana aku mahu kalamullah meresap dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku menanti hari itu.

"Bila enti menikah?"

Aku tiada jawapan khusus.

"Insya Allah, tiba waktunya nanti enti akan tahu..." Aku masih menyimpan tarikh keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku sendiri tidak tahu bila tarikhnya.

"Jemput ana tau!" Khalilah tersenyum megah.

"Kalau enti tak datang pun ana tak berkecil hati, doakan ana banyak-banyak! " Itu saja pesanku. Aku juga tidak tahu di mana mahu melangsungkan pernikahan ku, aduh semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai insan berkecil hati.

"Insya Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."

Rahsia ku adalah rahsia Allah, kerana itu aku tidak mampu memberikan tarikhnya. Cuma, hanya termampu aku menyiapkan diri sebaiknya. Untung aku dilamar dan dikhitbah dahulu tanpa menikah secara terkejut seperti orang lain. Semuanya aku sedaya upaya siapkan, baju menikahnya, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...

"Usah berlebihan ya..."

Ibu angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.

"Insyirah, jom makan!"

Aku tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.

"Tafaddal, ana puasa."

Sahabiah juga semakin galak mengusik.

"Wah, Insyirah diet ya. Maklumlah hari bahagia dah dekat... Tarikhnya tak tetap lagi ke?"

"Bukan diet, mahu mengosongkan perut. Maaf, tarikhnya belum ditetapkan lagi."

Sehingga kini, aku tidak tahu bila tarikhnya yang pasti. Maafkan aku sahabat, bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu sahaja.

............ ......... ......... .........

"innalillahi wainna ilaihi rajiun..."

"Tenangnya.. . Subhanallah. Allahuakbar. "

"Ya Allah, tenangnya... "

"Moga Allah memberkatinya. ..."

Allah, itu suara sahabat-sahabat ku, teman-teman seperjuangan aku pada ibu.

Akhirnya, aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. Sahabiah ramai yang datang di majlis walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri.

Akhirnya, mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.
Akhirnya, mereka kenali sosok 'dia' yang aku rahsiakan dari pengetahuan umum.
Akhirnya, mereka sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang mengkhitbah ku.

Dalam sedar tidak sedar...

Hampir setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan ku... Sentiasa ada suara sayu yang menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras, hanya Tuhan yang tahu.

"Ya Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan dengan Engkau. Yang menyedarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menyedarkan aku tentang dunia sementara, yang menyedarkan aku tentang alam akhirat. Engkau satukan kami dalam majlis yang Engkau redhai, aku hamba Mu yang tak punya apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui..."

Akhirnya, Khalilah bertanya kepada ibu beberapa minggu kemudian...

"Insyirah bertunang dengan siapa, mak cik?"

Ibu tenang menjawab... "Dengan kematian wahai anakku. Kanser tulang yang mulanya hanya pada tulang belakang sudah merebak dengan cepat pada tangan, kaki juga otaknya. Kata doktor, Insyirah hanya punya beberapa minggu sahaja sebelum kansernya membunuh."

"Allahuakbar. .." Terduduk Khalilah mendengar, air matanya tak mampu ditahan.

"Buku yang sering dibacanya itu, malam pertama..."

Ibu angguk, tersenyum lembut... "Ini nak, bukunya." Senaskah buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni tertera tajuk 'Malam Pertama di Alam Kubur'.

"Ya Allah, patut la Insyirah selalu menangis... Khalilah tak tahu mak cik."

"Dan sejak dari hari 'khitbah' tersebut, selalu Insyirah mahu berpuasa. Katanya mahu mengosongkan perut, mudah untuk dimandikan.. ."

Khalilah masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Matanya basah menatap kalam dari diari Insyirah yang diberikan oleh ibu.

"Satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku di risik oleh MAUT. Dan satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti tarikhnya dengan mendekatkan diri ku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya, kerana ibuku bernama Ummu Sulaim, baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH meminta. Dan ibu mengambil 'ibrah bukan dari namanya (Ummu Sulaim) malah akhlaqnya sekali. Ummu Sulaim, seteguh dan setabah hati seorang ibu."

************ ********* ********* ********* *******

Cukuplah kematian itu mengingatkan kita... Cukuplah kita sedar kita akan berpisah dengan segala nikmat dunia. Cukuplah kita sedar bahawa ada hari yang lebih kekal, oleh itu sentiasalah berwaspada. Bimbang menikah tergesa-gesa, tahu-tahu sudah disanding dan diarak seluruh kampung walau hanya dengan sehelai kain putih tak berharga.